Oleh: Fauzi Djunaedi/MH Alfie Syahrine/KPMI
Jika kita menelusuri jejak perkembangan musik di kota Kembang Bandung sekitar tahun 60an, maka selain grup The Rollies, Paramor yang sudah dikenal, sebenarnya masih adalagi grup musik yang menjadi andalan kota Bandung. Ya… kelompok musik Freedom of Rhapsodia, yang biasa membawakan lagu-lagu barat/asing ini dibentuk oleh beberapa nama musisi, antara lain: Soleh Sugiarto Djayadihardja (drums, vocal); Deddy Dores (lead guitar, vocal); Utte M.Thahir (bass) dan Alam (lead vocal).
Jika kita menelusuri jejak perkembangan musik di kota Kembang Bandung sekitar tahun 60an, maka selain grup The Rollies, Paramor yang sudah dikenal, sebenarnya masih adalagi grup musik yang menjadi andalan kota Bandung. Ya… kelompok musik Freedom of Rhapsodia, yang biasa membawakan lagu-lagu barat/asing ini dibentuk oleh beberapa nama musisi, antara lain: Soleh Sugiarto Djayadihardja (drums, vocal); Deddy Dores (lead guitar, vocal); Utte M.Thahir (bass) dan Alam (lead vocal).
Namun jika ditelusuri lebih kebelakang, cikal bakal grup Freedom of Rhapsodia ini berawal dari grup Rhapsodia, dimana bergabung Utte M.Thahir (bass); Alfred (gitar); Ibung (drums); Sondang (keyboard) dan Alam (vocal). Setelah beberapa saat, Rhapsodia mengalami permasalahan internal yang berakibat dengan pergantian personil dan dengan masuknya Deddy Dores (keyboard, lead guitar), nama Rhapsodia pun ditambah dengan awalan Freedom.
Order untuk manggungpun sangat padat karena Rhapsodia merupakan band idola para pemaja di kota Bandung pada khususnya dan Indonesia pada umumnya, disamping aksi panggung mereka yang atraktif serta para personilnya yang ganteng-ganteng, sebut saja; Deddy Dores yang sering disebut sebagai ”Wonder Guy” karena selalu memakai kacamata hitam baik siang maupun malam, Deddy saat itu disebut sebut sebagai Edger Winter-nya Indonesia karena gaya permainannya dan senangnya dia menyanyikan lagu-lagu Edgar Winter seperti Southern Woman, Free Ride dll, adalah motor penggerak hidupnya aksi panggung disamping kelincahan lead vokalnya Soleh Sugiarto yang saat itu disebut sebut sebagai Alice Cooper-nya Indonesia karena seringnya dia membawakan lagu-lagu Alice Cooper seperti lagu ”School Out” yang merupakan lagu kebangsaannya diatas panggung,belum lagi Johanes Sarwono yang imut-imut ini mahir bermain keyboard, Kiky yang rambutnya suka diponi dahsyat dalam menggebuk drumnya dan Uthe yang lincah pada bass serta Dave Tahuhey yang sangat atraktif bermain Saxofon. Disamping itu mereka juga sering membawakan lagi-lagu dari Santana, James Brown, Deep Purple dan Uriah Heep disetiap penampilannya.
Kekuatan aransemen musik grup ini dimana mereka mampu memadukan alat musik tiup “brass section” ketika memainkan nomor-nomor souls dari James Brown, dan hard rock dari Deep Purple maupun Alice Cooper yang menjadikan ciri khas mereka , ketika merubah formasi grup ini, setelah didukung oleh: Soleh Sugiarto (drums ke lead vocal, trumpet); Deddy Dores (lead guitar, vocal); Utte M. Thahir (bass); Dave (saksophon, flute, ex group Memphis); Kicky (drums, ex group Memphis) dan J.Sarwono (organ), dan dengan formasi ini mereka terlihat lebih solid.
Dunia rekaman pun mulai dijelajah oleh Deddy Dores dan kawan-kawan. Pada tahun 1972, mereka masuk dunia rekaman dibawah naungan label Purnama Record. Album perdana yang melambungkan lagu hits ‘Hilangnya Seorang Gadis’ ciptaan J.Sarwono, membuat nama grup Freedom Of Rhapsodia semakin dikenal di Tanah Air yang kabarnya album ini terjual hingga 50.000 keping.. Terlebih lagi vocal Deddy Dores yang rasanya sangat pas sekali dengan tipikal warna musik di album perdana ini. Tidaklah mengherankan jika lagu ‘Hilangnya Seorang Gadis’ ini setelah 35 tahun kemudian (tahun 2007) di aransemen ulang oleh Erwin Gutawa dalam album Rockestra, malah lagu tersebut terdengar lebih ‘rock’ dan warna musiknya lebih ‘gereget’ dibandingkan dari versi asli Freedom Of Rhapsodia (tahun ’72).
Keberhasilan Freedom Of Rhapsodia dalam rekaman, membuat beberapa promotor musik di Jakarta berani mengajak grup ini untuk tampil dalam konser terbuka dengan grup-grup musik yang sudah terkenal saat itu. Pada 24 Desember 1972, di Taman Ria Monas Jakarta, grup Freedom of Rhapsodia ditampilkan dengan grup musik pop D’Lloyd, Jakarta yang sedang naik daun saat itu. Penampilan Soleh (vokalis) mampu menghentakkan suasana, selain membawakan lagu dari Alice Cooper mereka juga membawakan lagu karya sendiri, seperti ‘Free to Love Another Girl’, sehingga menarik simpati para penonton Jakarta malam itu. Sekaligus memproklamirkan diri nama Freedom tanpa Rhapsodia.
Seperti diketahui, pemakaian nama dengan mengkaitkan nama Rhapsodia ini berlanjut, seperti The Rhapsodia Kings. Bahkan ketika Deddy Dores bergabung dengan grup rock Giant Step (tahun ’74) pada awalnya disebutkan nama grup barunya bersama Benny Soebardja tersebut, Giant Step Of Rhapsodia. Sedangkan grup Rhapsodia sendiri “comeback” pada tahun 1976 dengan Machyul dan kawan-kawan sebagai pengibarnya.
Untuk memposisikan diri sebagai sebuah grup yang memainkan music rock, Freedom mulai aktif melakukan tour-tour ke berbagai kota di Indonesia. Pada bulan Maret 1973, bertempat di Gedung Tenun Malang, kembali grup Freedom tampil bersama grup rock tangguh AKA yang sudah merajai dunia musik rock saat itu. Lagu “Hilangnya Seorang Gadis” merupakan lagu pamungkas bagi grup Freedom selain lagu Freedom ciptaan mereka sendiri sebagai lagu kebanggan mereka, walaupun dalam pergelaran musik rock sekalipun. Aransemen musik tiup yang biasanya dipadukan dengan nomor lagu rock, sedikit-demi sedikit mulai disederhanakan dalam aransemen musik mereka. Mengingat vocal utamanya, Soleh yang harus memfokuskan bernyanyi dan aksi panggung agar dapat mengendalikan “showmanship” grup Freedom sebagai grup musik rock.
Saat tampil di kota Semarang pada Mei 74. Soleh, sang vokalis dengan mengenakan jubah putih sambil membawa obor, menyanyikan nomor lagu dari Osibisa, yang berjudul “La-Ila Ilala”, dianggap membuat ‘sensasi’ dan ke’heboh’an untuk ukuran saat itu. Pasalnya, para penonton agak marah dan protes dengan keberanian Freedom membawakan lagu tersebut, karena dapat dikatakan inilah lagu pop pertama kali yang memakai kalimat ayat suci Al Quran, memuja Tuhan dan RasulNya (dalam bahasa Arab) dinyanyikan dalam suasana pertunjukkan musik “rock” yang gegap-gempita. Bahkan para jurnalis dan pengamat musik Semarang saat itu menilai bahwa lirik-lirik lagu yang dibawakan Soleh tersebut tergolong “liar” dan dianggap “menghina Tuhan”. Akibatnya, pihak berwajib melarang pemutaran lagu itu diseluruh radio-radio swasta di Jawa Tengah.
Dampak dari “kehebohan” mereka saat show di Semarang tersebut terdengar hingga ke kota asal mereka, Bandung. Dua (2) hari setelah itu, ketika Freedom diminta main di Gedung Merdeka Bandung untuk mengisi acara pesta sebuah sekolah, Soleh dan kawan-kawan berniat membawakan lagu Osibisa yang menghebohkan Semarang tersebut untuk menguji reaksi dan pandangan masyarakat Bandung. Namun niat ini tidak jadi dilakukan, karena “Ngeri juga masuk penjara”, komentar Soleh. Bahkan dari pengalaman selama mengadakan pentas pertunjukkan diberbagai kota di Indonesia, baru pertunjukkan kali ini Freedom dijaga ketat diseputar panggung oleh aparat keamanan berjumlah 20 orang, yang lumayan banyak untuk ukuran saat itu. Namun permintaan maaf Freedom kepada masyarakat Bandung lewat media cetak tetap dilakukan Soleh dan kawan-kawan, mengingat dua diantara para personil tersebut orangtuanya ada yang dikenal sebagai tokoh agama/ulama di Bandung saat itu.
Pada bulan Oktober 75 saat tampil bersama grup rock Ternchem, asal Solo di Taman Hiburan Rakyat Diponegoro Semarang, diantara personil Freedom yang tetap, ada nama Choqy Hutagalung (organ) musisi yang dikenal pernah bersama Eros Djarot semasa di Jerman membentuk grup Kopfjaeger (cikal bakal grup Barongs Band) dan pernah bergabung dengan Gang of Harry Roesli di awal tahun 70an. Kehadiran Choqy sebagai pemain organ sedikit banyak dapat mengimbangi peran J. Sarwono maupun Deddy Dores semasa mereka di grup Freedom ini. Bahkan nomor lagu “Love Story” sempat menarik simpati penonton ketika dimainkan Choqy secara manis diantara repertoar lagu-lagu keras yang dibawakan Freedom. Sedikit berbeda dari tampilan Freedom kali ini, ialah Soleh, sang vokalis dengan memakai “wig” kribo, sehingga terlihat seperti ke’banci2’an dengan kostum agak bercorak ‘glitter rock’ mampu menguasai penonton dan menuai sukses.
Keberadaan grup Freedom dalam dunia rekaman musik Indonesia, sempat terhenti ketika Freedom sudah menyelesaikan album keempat. Hal ini disebabkan karena mundurnya Deddy Dores (lead guitar, keyboard, vocal) yang sangat berperan dalam penciptaan dan penataan musik serta sebagai vokalis utama grup Freedom. Masa jeda yang berkepanjangan di dapur rekaman, akhirnya berhasil diatasi oleh Soleh dan kawan-kawan (tahun 1976) sejak hadirnya musisi Ferry Atmadibrata (organ) mantan personil No Bo asal Bandung serta Joko Juwono (gitar) menggantikan Utte. Dalam formasi ini, terlihat bahwa warna musik grup Freedom lebih dominan ke warna musik pop ketimbang warna musik pop-rock pada awalnya. Nomor lagu ‘Mawar Putih’ ciptaan Soleh Soegiarto (vokalis) dijadikan salah satu nomor andalan pada album kelima ini, dimana terasa sangat dipengaruhi warna musik grup Bimbo dan sangat kental dengan warna musik pop.
Sejak mundurnya Deddy Dores (Juni 1973), untuk bergabung dengan grup rock baru God Bless yang dimotori Achmad Albar, tidak membuat Soleh dan kawan-kawan terpengaruh. Malahan dalam formasi baru ini: Soleh (vocal); Utte (bass); Dave (lead guitar); Sarwono (organ) dan Kicky (drums), keberadaan aksi panggung yang ditampilkan Freedom saat tampil bersama grup AKA di Gelora Pancasila, Surabaya pada bulan Agustus 1974 semakin memikat mata. Aksi panggung Soleh, yang memang fanatik dengan gaya ala Alice Cooper, dengan diselingi atraksi melepaskan burung-burung merpati putih, sering mengundang simpati dari para penonton dan juga dari musisi rock yang tampil. Pasalnya, mereka mengidentikkan burung-burung merpati tersebut sebagai lambang “perdamaian” bagi sesama musisi rock yang kala itu sering diadu “duel meet” oleh sponsor pertunjukkan, seolah-olah ada yang harus kalah.
Semaraknya musik pop progresif ala Badai Band pada awal tahun 1977, membuat grup Freedom semakin sulit untuk memposisikan keberadaan warna musiknya dalam era ini. Sedangkan Soleh Soegiarto (vokalis), malahan sempat bersolo karir dengan membuat album ‘Sang Kala’ dibantu teman sesama musisi Bandung pada tahun 1978. Nomor lagu “Sang Kala” yang dinyanyikan Soleh, lebih menebarkan warna musik pop “mellow” dengan aransemenn yang jauh berbeda dengan trend musik yang ada.
Pada saat masuknya nama musisi Chossy Pratama kedalam formasi Freedom ini, mereka sempat membuat satu album “repackage” yang diberi judul “Freedom Of Rhapsodia 93”, dimana warna aransemen musiknya agak sedikit berbeda dari sebelumnya. Hal ini mengingat bahwa, kehadiran Chossy Pratama, selain sebagai keyboardis juga sebagai pencipta dan penata musik untuk grup ini. Diluar grup ini, ia bahkan sering membantu dalam pembuatan illustrasi musik untuk beberapa film sinetron remaja. Namun eksisnya nama Chossy Pratama di grup Freedom ini, belumlah membantu grup ini untuk berkiprah lebih banyak didunia musik Indonesia, karena situasi dan kondisi dunia permusikan tidaklah serupa dengan awal kebangkitan mereka.
Meredupnya grup Freedom, seakan-akan seiring dengan mulai dikenalnya nama para personil yang berkiprah diluar bendera grup ini. Soleh Soegiarto (vokalis), semakin terkenal setelah menjadi aktivis salah satu organisasi kepemudaan dan sekarang menjadi anggota DPRD di kota Bandung; Utte (bass) lebih memilih kuliah dan sekarang menjalankan bisnis entertainment; J. Sarwono (Keyboard) sekarang menjadi Lawyer; Kicky (drums) masih melanjutkan karirnya didunia “entertainment”; Deddy Dores (lead guitar/vocal) lebih menonjol sebagai pemandu bakat artis penyanyi rock seperti Nike Ardilla (alm), Nia Astrina, Mayangsari (sekarang beralih ke musik pop) dan beberapakali membentuk grup music diantaranya Superkid, Lipstick, Caezar, Sansekerta dsb, dan sekarang sebagai Ketua Suara Perjuangan Artis Indonesia (Spaind). Sedangkan Chossy Pratama dikabarkan telah menjadi pengusaha yang sukses. Ferry Atmadibrata, sempat bergabung dengan One Dee Group (pimpinan Wandi ODALF), selain sebagai pencipta lagu dan penata musik di beberapa rekaman penyanyi komersial.
FREEDOM IS BACK
Setelah lebih dari tiga dekade menghilang, beberapa waktu yang lalu mereka tampil pada acara Blues Night di TVRI untuk menggobati kerinduan pengemarnya, Freedom muncul kembali dengan formasi Djoko Yuwono (gitar), Kiky (drum), Ferry Atmadibrata (keyboard), Dave Tahuhey (Bass), Harry Potjang (harmonika) dan Soleh Sugiarto (vokal) mereka menyanyikan tiga buah lagu, dan yang paling mengagumkan adalah ketika mereka menyanyikan lagu dari The Doors ” Light My Fire” yang dinyanyikan oleh Soleh Sugiarto dan Djoko Yuwono yang dinyanyikan dengan sangat prima.
Discography:
Freedom Of Rhapsodia
1972. Vol 1 (Hilangnya Seorang Gadis ) Purnama Record
1973. Vol 2 (Hancurnya Sebuah Harapan ) Purnama Record
Freedom
1974. Vol 3 ( Tak Pernah Bahagia ) Purnama Record
1974. Vol 4 ( Dedication ) Purnama Record
Komentar :
Post a Comment